Daftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 perbedaan bahasa di setiap negara
2.2 manfaat menguasai bahasa asing
2.3 asal usul perbedaan bahasa di tiap negara
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 perbedaan bahasa di setiap negara
Bahasa berkembang hingga akhirnya muncul berbagai macam ragam bahasa. Saat ini di berbagai belahan dunia memiliki bahasa yang berbeda-beda. Tahukah kamu, bagaimana sih sejarah bahasa yang berbeda-beda , itu?
Bahasa memang beragam. Setiap negara pasti punya bahasa masing-masing. Di awal sejarah, kemungkinan besar semua manusia hanya menggunakan satu bahasa. Karena waktu pun berkembang, bahasa yang digunakan pun menyebar dan berubah.
Awalnya, bahasa induk itu hanya digunakan dalam kelompok kecil. Secara perlahan kelompok ini kemudian menyebar bergabung dengan kelompok lain.
Mulai dari sanalah, muncul istilah atau kata-kata baru yang digunakan antar kelompok itu. Orang-orang pun mulai mengatakan hal yang sedikit berbeda dan terjadi perubahan dalam bunyi dan kata-kata.Beberapa kata yang sudah lama tidak digunakan di tempat lama pun akhirnya dibuang. Perubahan dimulai dari bunyi, suku kata, hingga akhirnya menjadi sebuah bahasa baru.
Dengan cara demikian, bahasa-bahasa Spanyol, Perancis, dan Portugis telah berkembang dari bahasa Latin; dan bahasa Inggris, Norwegia, Swedia, Denmark dan Belanda berasal dari bentuk awal bahasa Jerman. Bahasa nenek moyang, bersama-sama dengan semua bahasa yang berkembang dari bahasa itu, dinamakan 'rumpun' bahasa.
2.2 manfaat menguasai bahasa asing
Menguasai bahasa asing kini sudah menjadi keharusan jika kita ingin bersaing di dunia kerja dan pendidikan. Mahir berbahasa asing juga sangat membantu hobi berwisata ke mancanegara.
Namun selain alasan-alasan tersebut, beberapa penelitian menunjukkan bahwa berbicara lebih dari satu bahasa sebenarnya menyehatkan, terutama untuk bagian otak. Ketahui apa saja manfaatnya.
1. Kelenturan kognitif
Orang dewasa yang bisa berbicara dua bahasa sejak masih anak-anak diketahui memiliki fleksibilitas kognitif yang lebih baik. Ini berarti, mereka lebih mampu beradaptasi di lingkungan baru atau yang tak terduga.
2. Otak lebih tajam
Manfaat ini juga dirasakan oleh mereka yang belajar bahasa asing pada usia dewasa. Mereka yang menguasai dua atau lebih bahasa asing memiliki kemampuan yang lebih baik dalam membaca dan juga kecerdasan.
3. Melihat kata secara berbeda
Orang yang menguasai dua bahasa akan memproses beberapa kata dengan lebih cepat, terutama dua kata yang punya arti sama dalam dua bahasa itu.
4. Menunda penyakit Alzheimer
Walau tidak membuat kita imun terhadap penyakit Alzheimer, tetapi orang yang bilingual ternyata penyakitnya lebih lama muncul dibanding orang yang bicara satu bahasa.
5. Kemampuan memecahkan masalah
Anak-anak yang menguasai dua bahasa juga memiliki hasil tes memecahkan masalah yang lebih baik. Dalam studi yang melibatkan 121 anak ini, mereka diminta mengerjakan pengulangan angka, soal matematika, serta membuat pola balok berwarna.
6. Otak lebih cepat saat berpindah
Anak-anak yang mempelajari lebih dari satu bahasa ternyata lebih cepat mengganti atau beralih perhatiannya saat tugas-tugas diberikan.
7. Pengambil keputusan yang baik
Orang yang berpikir dalam bahasa lain ternyata cenderung membuat keputusan yang rasional. Orang yang melakukan proses berpikir dalam bahasa lain juga tidak terlalu menggunakan emosi saat membuat keputusan.
2.3 asal usul perbedaan bahasa di tiap negara
Asal mula bahasa pada spesies manusia telah menjadi topik perdebatan para ahli selama beberapa abad. Walaupun begitu, tidak ada kesepakatan umum mengenai kapan dan umur bahasa manusia secara pasti. Salah satu permasalahan yang membuat topik ini sangat sulit dikaji adalah kurangnya bukti langsung. Akibatnya, para ahli yang ingin meneliti asal mula bahasa harus menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti lain seperti catatan-catatan fosil atau bukti-bukti arkeologis, keberagamanan bahasa kontemporer, kajian akuisisi bahasa, dan perbandingan antara bahasa manusia dengan sistem komunikasi hewan, terutama sistem komunikasi primata lain. Secara umum ada kesepakatan bahwa asal mula bahasa manusia berkaitan erat dengan asal usul perilaku manusia modern, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai implikasi-implikasi dan keterarahan hubungan keduanya.
Langkanya bukti empiris membuat banyak ahli menganggap topik ini tidak dapat dijadikan kajian penting. Pada tahun 1866, Société de Linguistique de Paris bahkan melarang perdebatan mengenainya. Larangan tersebut tetap berpengaruh di banyak negara barat hingga akhir abad ke-20.[1] Sekarang, ada banyak hipotesis mengenai bagaimana, kenapa, kapan dan di mana bahasa mungkin pertama kali muncul. [2] Tampaknya tidak begitu banyak kesepakatan pada saat ini dibandingkan seratus tahun lalu, saat teori evolusi Charles Darwin lewat seleksi alam-nya menimbulkan banyak spekulasi mengenai topik ini. [3] Sejak awal 1990-an, sejumlah ahli bahasa, arkeologis, psikologis, antropolog, dan ilmuwan profesional lainnya telah mencoba untuk menelaah dengan metode baru apa yang mereka mulai pertimbangkan sebagai permasalahan tersulit dalam sains. [4]
Pendekatan-pendekatan
Pendekatan terhadap asal mula bahasa dapat dibagi berdasarkan asumsi dasarnya. "Teori Keberlanjutan" merupakan teori yang dilandaskan pada gagasan bahwa bahasa sangat kompleks sehingga tidak dapat dibayangkan timbul begitu saja dari ketiadaan dalam bentuk akhir seperti sekarang: bahasa pastinya berkembang dari sistem pra-linguistik awal di antara leluhur primata kita. Sementara itu, "teori Ketakberlanjutan" didasarkan pada gagasan yang berlawanan—bahwa bahasa adalah suatu sifat yang unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang ditemukan pada spesies selain manusia dan oleh karena itu bahasa pasti muncul secara tiba-tiba selama perjalanan evolusi manusia. Perbedaan lainnya yaitu antara teori yang memandang bahasa sebagai bawaan lahir yang ter-sandi secara genetis, dan mereka yang melihatnya sebagai sebuah sistem yang secara umum bersifat kultural—dipelajari lewat interaksi sosial. [5] Noam Chomsky adalah pendukung utama teori ketakberlanjutan. "Pandangan Noam Chomsky terhadap sifat dasar Tatabahasa Universal (TU, tatabahasa universal lahiriah) telah lama menjadi dominan dalam bidang linguistik, tapi TU sendiri telah mengalami perubahan besar dari dasawarsa ke dasawarsa" (Christiansen, 59). Ia berargumen bahwa sebuah mutasi terjadi pada salah satu individu dalam rentang 100.000 tahun yang lalu, yang mengakibatkan munculnya kemampuan bahasa (sebuah komponen dalam otak) secara "instan" dalam bentuk yang "sempurna" atau "hampir-sempurna". Argumentasi secara filosofinya berbunyi sebagai berikut: pertama, dari apa yang diketahui mengenai evolusi, setiap perubahan biologis dalam suatu spesies timbul dari perubahan genetis secara acak pada satu individu, yang menyebar dalam satu kelompok peranakan. Kedua, berdasarkan sudut pandang komputasi dalam teori bahasa: satu-satunya perubahan yang dibutuhkan adalah kemampuan kognitif untuk membentuk dan memproses struktur data rekursif dalam pikiran (properti dari "infinitas diskret", yang muncul hanya pada manusia). Chomsky beralasan bahwa perubahan genetis ini, yang memberikan otak manusia suatu properti infinitas diskret, secara esensial merupakan loncatan yang menyebabkan dapat menghitung dari bilangan N, dengan N adalah bilangan pasti, sampai mampu menghitung sampai bilangan tak-terbatas (misalnya, jika N dapat dibentuk begitu juga N+1). Berdasarkan pernyataan di atas, evolusi kemampuan bahasa pada manusia merupakan saltasi karena secara logis tidak mungkin ada transisi secara bertingkat dari otak yang mampu menghitung pada bilangan tertentu menjadi otak yang mampu berpikir mengenai ketakterbatasan. Sebagai gambaran, pembentukan kemampuan berbahasa pada manusia serupa dengan pembentukan kristal; infinitas diskret muncul dalam otak primata layaknya bibit kristal yang ditambahkan dalam larutan super jenuh. [6] [7] Teori keberlanjutan sekarang didukung oleh mayoritas ilmuwan, tapi terdapat berbagai macam variasi. Di antara mereka yang melihat bahasa sebagai bawaan lahir, beberapa—yang terkenal yaitu Steven Pinker [8]—menghindari spekulasi mengenai pelopor bahasa pada primata non-manusia, dan menekankan secara sederhana bahwa kemampuan bahasa harusnya berevolusi secara bertahap. [9] Kelompok lainnya—yang terkenal yaitu Ib Ulbæk [10]—menganggap bahwa bahasa berkembang tidak dari komunikasi primata tapi dari kesadaran primata, yang jauh lebih kompleks. Bagi mereka yang menganggap bahasa sebagai alat komunikasi yang dipelajari secara sosial, seperti Michael Tomasello, bahasa berkembang dari aspek komunikasi primata, yang condong kepada komunikasi lewat isyarat daripada lewat vokal. [11] [12] Terkait pendahulu vokal, banyak pendukung teori keberlanjutan membayangkan bahasa berkembang dari kemampuan manusia purba dalam bernyanyi. [13] [14] Di luar teori keberlanjutan dan ketakberlanjutan, terdapat mereka yang melihat munculnya bahasa sebagai konsekuensi dari suatu bentuk transformasi sosial [15] yang, dengan menghasilkan tingkat kepecayaan umum yang belum pernah terjadi sebelumnya, melepaskan potensi genetik untuk kreativitas linguistik yang sebelumnya dibiarkan terpendam. [16] [17] [18] 'Teori koevolusi ritual/bicara' adalah salah satu contoh dari pendekatan ini. [19] [20] Ilmuwan-ilmuwan dalam kelompok intelektual ini menunjuk kepada fakta bahwa bahkan simpanse dan bonobo memiliki kemampuan terpendam yang, dalam lingkungan liar, jarang dipergunakan. [21] Argumennya adalah jika suatu mutasi yang akan muncul secara tiba-tiba memungkinkan kemampuan bahasa pada suatu individu primata, mutasi tersebut tidak akan memberikan keuntungan adaptif kecuali jika sistem sosial secara radikal berubah. Suatu struktur sosial yang sangat spesifik—sebuah struktur yang dapat dengan luar biasa menjunjung tinggi akuntabilitas dan kepercayaan publik—haruslah berkembang sebelum atau bersamaan dengan bahasa supaya ketergantungan pada 'sinyal murahan' (perkataan) menjadi sebuah strategi stabil evolusioner. Karena munculnya bahasa terjadi pada zaman pra-sejarah, perkembangan yang terkait tidak meninggalkan jejak sejarah langsung; dan tidak ada proses pembandingan yang dapat dilakukan pada masa sekarang. Oleh karena itu, munculnya bahasa isyarat pada masa modern -- Bahasa Isyarat Nikaragua, misalnya—mungkin berpotensi memperlihatkan gambaran tingkat-tingkat perkembangan dan proses kreatif yang terlibat. [22] Pendekatan lainnya yaitu dengan meneliti fosil manusia awal, melihat kemungkinan adanya jejak adaptasi fisik terhadap penggunaan bahasa. [23] [24] Dalam beberapa kasus, saat DNA dari manusia yang telah punah dapat dipulihkan, ada atau ketiadaan gen yang seharusnya berkaitan dengan bahasa—FOXP2 sebagai contohnya—mungkin dapat memberikan informasi lebih lanjut. [25] Pendekatan lainnya, kali ini secara arkeologis, adalah dengan membawa perilaku simbolis (seperti aktivitas ritual) yang mungkin berpotensial meninggalkan jejak secara arkeologis—seperti pengumpulan dan modifikasi dari pigmen ochre yang digunakan untuk melukis badan—dapat membangun argumentasi teoretis untuk memberikan kesimpulan dari simbolism secara umum kepada bahasa secara khusus. [26] [27] [28] Rentang waktu bagi evolusi bahasa dan/atau prasyarat anatomis terjadi, paling tidak secara dasar, sejak perpisahan filogenetik pada Homo (2,3 sampai 2,4 juta tahun lalu) dari Pan (5 sampai 6 juta tahun lalu) sampai munculnya perilaku modernitas sekitar 150.000 - 50.000 tahun lalu. Beberapa orang membantah bahwa Australopithecus kemungkinan tidak memiliki sistem komunikasi yang lebih canggih daripada Kera Besar secara umum, [29] tetapi para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda terhadap perkembangan sejak munculnya Homo sekitar 2,5 juta tahun yang lalu. Beberapa ahli mengasumsikan perkembangan sistem mirip-bahasa primitif (proto-bahasa) pada masa Homo habilis, sementara ahli lainnya menempatkan perkembangan komunikasi simbol primitif hanya pada Homo erectus (1,8 juta tahun yang lalu) atau Homo heidelbergensis (0,6 juta tahun yang lalu) dan perkembangan bahasa pada Homo sapiens kurang dari 200.000 tahun lampau. Dengan menggunakan metode statistik untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui persebaran dan perbedaan pada bahasa modern saat sekarang, Johanna Nichols—seorang ahli bahasa dari Universitas California, Berkeley—memberikan argumen pada tahun 1998 bahwa bahasa vokal pastinya telah berdiversifikasi pada spesies kita paling tidak sekitar 100.000 tahun lalu. [30] Menggunakan keberagaman fonemis, sebuah analisis terbaru memberikan dukungan linguistik langsung terhadap waktu yang sama.[31] Perkiraan semacam ini secara independen didukung oleh bukti genetik, arkeologi, paleontologi dan bukti-bukti lainnya yang menunjukkan bahwa bahasa mungkin muncul di suatu tempat di Afrika sub-Sahara selama zaman batu pertengahan, kira-kira sezaman dengan perkembangan spesies Homo sapiens. [32] Para ahli bahasa sekarang setuju bahwa, selain pijin, tidak ada bahasa modern yang "primitif": semua populasi manusia modern berbicara bahasa yang hampir sama kompleks dan ekspresif, [33] walau penelitian terbaru telah menunjukkan bagaimana kompleksitas linguistik bervariasi antara dan dalam suatu bahasa sepanjang sejarah.
BAB 3 PENUTUP
3.1 kesimpulan
Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa daerah, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa daerah/ibu secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, penutur tidak terampil menggunakan bahasa. Ini adalah suatu kelemahan yang tidak disadari oleh penutur itu sendiri.
3.2 saran
Ada baiknya kita membudayakan bahasa sendiri walaupun bahasa sendiri bukanlah bahasa internasional
3.3 daftar pustaka
https://googleweblight.com/?lite_url=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Asal_mula_bahasa&ei=NW0_QOlL&lc=en-ID&s=1&m=621&host=www.google.co.id&ts=1457755516&sig=ALL1Aj5JfItJHB57blIJrQVC8quEpOdvLA
https://googleweblight.com/?lite_url=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sastra&ei=yhc3t10J&lc=en-ID&s=1&m=621&host=www.google.co.id&ts=1457755823&sig=ALL1Aj6sRHBWmSOPB7DfI-6GSeIR-YLzgA
http://health.kompas.com/read/2014/06/17/1535246/7.Manfaat.Menguasai.Bahasa.Asing.bagi.Otak